Minggu, 16 Oktober 2011

Beri Kami Sepak Bola, Bukan Intrik Elite

Denyut nadi kompetisi sepak bola Tanah Air berdetak lagi, Sabtu (15/10/2011), saat di Stadion Si Jalak Harupat, Soreang, Kabupaten Bandung, berlangsung laga Persib Bandung versus Semen Padang. Puluhan ribu penonton yang sebagian besar suporter tim tuan rumah memadati stadion.


Kantor berita Antara mencatat, penonton mulai memadati stadion pukul 12.00 atau 3,5 jam sebelum laga dimulai. Ada semacam kerinduan yang begitu mendalam di kalangan suporter akan tontonan laga sepak bola di Tanah Air. Terakhir, tontonan itu mereka dapatkan pada 19 Juni lalu, laga terakhir Liga Super Indonesia 2010/2011.


Tontonan sore itu tidak lagi berlabel Liga Super Indonesia, tapi Liga Prima Indonesia. Namun, siapa peduli soal nama jika sudah haus tontonan sepak bola. Mereka juga tak mau berpikir  njlimet, apakah itu laga kompetisi resmi atau laga uji coba. Logika penggemar sepak bola cukup sederhana: hadirkan laga sepak bola, bukan hal lain.


Kompetisi Liga Indonesia 2011/2012 bergulir di tengah retaknya klub-klub negeri ini. Sejumlah klub, yang dijuluki ”Kelompok 14” sesuai klaim 14 klub di balik gerakan itu (belakangan disebut menjadi 10 klub), mengancam memutar liga sendiri mulai 1 Desember jika pengelolaan liga profesional tidak diserahkan PT Liga Indonesia.


Alasan mereka, hal itu sudah diputuskan dalam Kongres Tahunan PSSI di Bali, Januari lalu. Sebuah kongres yang di sisi lain juga dimanfaatkan pengurus PSSI saat itu untuk melanggengkan kekuasaan. Pembagian 99 persen saham PT Liga Indonesia dan insentif Rp 2 miliar per klub menambah semangat klub-klub tersebut.


”Itu sudah komitmen institusi PT Liga Indonesia yang harus dipenuhi,” kata CEO PT Liga Indonesia Joko Driyono di sela-sela acara temu manajer di Hotel Ambhara, Jakarta, Kamis (13/10/2011).


”(Insentif) Rp 2 miliar itu bukan revenue sharing atau profit sharing, tetapi proyeksi insentif dari business plan PT Liga Indonesia 2011/2012.”


Problem di tubuh PSSI
Berbicara soal uang selalu menggiurkan meski ”wujud”-nya belum jelas. Apalagi, klub-klub itu mendengar kepengurusan PSSI saat ini hanya mampu memberi di bawah yang dijanjikan PT Liga Indonesia.


Namun, kisruh seputar kompetisi mungkin tidak seruwet ini jika pengurus PSSI kapabel dan tak tergoda pertimbangan lain di luar aspek olahraga dalam merancang kompetisi profesional. Sejak awal PSSI menetapkan lima syarat (legal, finansial, infrastruktur, sumber daya manusia, dan pembinaan usia muda) sebagai kriteria klub peserta divisi tertinggi Liga Indonesia.


Jujur, diakui atau tidak, verifikasi itu tidak dijalankan PSSI, kecuali sebatas di atas kertas dan tanpa verifikasi lapangan. Mereka tidak menjalankan verifikasi klub-klub sesuai lima kriteria dan lalu menetapkan peserta kompetisi, berapa pun jumlah klub yang akan didapat.


Tanpa kejelasan verifikasi, karena tidak diumumkan ke publik, PSSI menetapkan angka 32 klub, lalu berubah 18 dan belakangan jadi 24 klub. Di sinilah awal mula kekisruhan itu.


Penggemar sepak bola tak mau pusing memikirkan hal-hal njlimet beraroma intrik elite pejabat sepak bola. Yang mereka inginkan sederhana, tontonan laga sepak bola bermutu. Karena itu, jika sejumlah klub ingin membuat kompetisi sendiri di luar Liga Prima Indonesia-nya PSSI, silakan saja.


Rakyat tidak bodoh melihat mana kompetisi yang lebih baik dan lebih profesional. Hitung- hitung, semacam verifikasi alami. Tidak takut sanksi FIFA seperti yang dulu ditakut-takuti rezim Nurdin? Biarlah itu diurus FIFA. Rakyat hanya ingin sepak bola berdenyut, bukan sepak bola yang penuh intrik para elitenya. Iya, kan? (MH SAMSUL HADI)


View the original article here

Tidak ada komentar:

Posting Komentar