Minggu, 16 Oktober 2011

Andaikan....

Andai tiga tahun lalu PT Liga Indonesia dan semua klub mengikuti instruksi Konfederasi Sepak Bola Asia untuk memenuhi semua persyaratan guna mengikuti kompetisi level satu, andai kontrak hak siar stasiun televisi tak hanya Rp 10 miliar per musim, andai semua klub membenahi diri dengan memperbaiki sarana dan prasarana, pembinaan usia dini, serta memperkuat diri dengan dana memadai, dan sejuta andai lainnya, prestasi tim nasional kita tidak jeblok seperti sekarang ini. Andai pengurus lama PSSI tidak meninggalkan organisasi yang karut-marut, semua persoalan yang muncul belakangan ini tidak akan terjadi.

Itulah potret sepak bola kita. Tepat, kalau rekan saya Budiarto Shambazy mengatakan bahwa semua persoalan berawal dari anggota klub itu sendiri.

Tiga tahun lalu, PT LI dan anggota klub ”bersekongkol” untuk tidak mengindahkan instruksi Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC) dalam memverifikasi klub peserta kompetisi level satu. Ketika deadline AFC kepada klub untuk membenahi diri tinggal hitungan hari, semua ”kebakaran jenggot”. Pengurus baru yang berumur tiga bulan didera berbagai problem, dan seolah-olah menjadi bagian dari kesalahan pengurus lama yang mengelola PSSI delapan tahun.

Ketika tim nasional kita kalah, kalah, dan kalah lagi di kualifikasi Pra-Piala Dunia Zona Asia, yang disalahkan pengurus dan pelatih. Uniknya, klub tidak pernah menyorot kinerja pengurus lama PSSI yang tidak memikirkan pembinaan. Kalau saja pembinaan berjalan baik, kita tak perlu pemain depan hasil naturalisasi seperti Cristian Gonzales. Kita juga pasti bisa memiliki lebih banyak pemain sekelas Firman Utina.

Jika klub bisa memprotes PSSI terhadap hak siar sebuah stasiun televisi yang mengucurkan Rp 10 miliar per musim kompetisi, dan memperbaiki saham yang sekitar 10 persen diberikan PT LI selama empat tahun, mereka tak akan memprotes biaya kompetisi. Bahkan, APBD pun tidak dibutuhkan klub sejak empat tahun lalu.

Klub justru berterima kasih kepada PT Liga Prima Indonesia Sportindo (LPIS) yang bisa menggaet sponsor televisi Grup MNC, pemegang tunggal hak siar, dengan biaya sponsor sebesar Rp 100 miliar per musim.

Hak dan kewajiban

Kini muncul Kelompok 10 (bukan 14 klub) atau disingkat ”K-10” yang ingin keluar dari kompetisi yang diputar PT LPIS, dan berniat menggelar kompetisi sendiri. Mereka akan merealisasikan rencana itu jika PSSI dan PT LPIS tidak mengakomodasi keinginan mereka.

Tuntutan ”K-10” adalah peserta liga level satu harus 18 klub, PT LPIS harus memberikan saham 99 persen kepada klub, dan dikucurkan Rp 2 miliar sebagai biaya kompensasi dari pembengkakan jumlah peserta kompetisi dari 18 menjadi 24 tim. Menurut mereka, tuntutan itu sesuai hasil keputusan Kongres Bali 2010. Meski, setelah ditelusuri, tidak ada notulen atau keputusan Kongres Bali 2010 seperti itu.

Rencana menggelar kompetisi tandingan sebaiknya dipikir ulang. Mengapa? Saya khawatir, mereka akan menceburkan diri dalam lubang lumpur yang digali sendiri. Seperti dikatakan Shambazy, biang kerok dari masalah saat ini adalah anggota klub itu juga. Di dalam ”K-10” terdapat sebagian oknum yang justru sama-sama berada dalam kelompok reformasi yang menggulingkan kepengurusan lama. Namun, ”pemain-pemain lama” itu kini kembali mencari keuntungan dengan merongrong pengurus baru.

Persentase kerugian lebih besar dari keuntungan bakal ditanggung klub jika ”K-10” menggelar liga tandingan. Kerugiannya antara lain klub akan berhadapan dengan komunitas suporter yang merasa klubnya kehilangan asa menuju Liga Champions Asia. Juga, AFC dan FIFA tidak akan mengakui eksistensi kompetisi itu, izin keamanan sulit didapat dari polisi, agen dan pemain asing sulit berpartisipasi di kompetisi itu karena berbagai alasan yang merugikan mereka secara finansial maupun karier, serta perangkat pertandingan seperti wasit dan pengawas sulit didapat. Sponsor juga berpikir 1.000 kali sebelum berkontribusi.

Satu-satunya keuntungan bagi klub yang bisa dipetik dari kompetisi itu adalah mereka masih bisa menyediakan ajang kompetisi bagi pemainnya.

Menyikapi dan mengantisipasi langkah ”K-10”, sikap PSSI dan PT LPIS pun tegas. Mereka memberi batas waktu registrasi pemain bagi semua klub sampai 26 Oktober. Jika lewat batas itu, klub yang belum mendaftar otomatis gugur dan tidak ikut kompetisi level satu. ”Dengan 10 klub saja kami bisa jalan. Jumlah itu batas minimal yang diberikan AFC, dan kami sudah punya 10 klub, bahkan masih terus berkembang dan sudah mencapai 14 saat ini,” kata Ketua Komite Kompetisi PSSI Sihar Sitorus.

Sebagai pengurus yang mengusung agenda reformasi, langkah tegas dan konkret sangat dibutuhkan duet Djohar Arifin-Farid Rahman. PSSI harus mengedepankan keputusan berdasarkan peraturan yang ada. Jauhkan keputusan berdasar kompromi sehingga semua klub akan semakin dewasa dan punya tujuan bersama, membangun sepak bola nasional! (Yesayas Oktovianus)


View the original article here

Tidak ada komentar:

Posting Komentar